HIV/AIDS adalah epidemi yang sebenarnya hanyalah suatu rekayasa
yang akan merusak masa depan Anda, suami/istri Anda, dan yang lebih jahat lagi…
merusak masa depan anak-anak Anda yang lucu dan lugu!
Semua Odha setelah pertama kali mendengar
bahwa mereka positif HIV, segalanya jadi terasa seperti kiamat! Mereka jadi
tidak bersemangat untuk bekerja, bergaul, tidak enak makan, depresi
berkepanjangan, dan paling parah… tidak bersemangat untuk melanjutkan hidup.
Saya menemukan suatu blog yang di dalamnya membahas HIV/AIDS dari
sudut pandang AIDS Denialist. Sebagai ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), tentu saja
saya tertarik. Terlebih, Islam Therapy adalah Program Penanggulangan HIV/AIDS
berbasis ajaran Islam yang harus benar-benar menjadi program yang
menyelamatkan. Berikut ini adalah salah satu halaman dari blog tersebut. Untuk
halaman-halaman lainnya, silahkan kunjungi langsung blognya. HEAL INDONESIA
Kebenarannya adalah AZT, ddI, ddC , penghambat protease (protease
inhibitors) dan obat-obatan lainnya yang disebut “antiretrovirals” tidak pernah
didapati di studi terkontrol manapun yang membuktikan adanya manfaat klinis
teruji terhadap para pasien AIDS. Satu-satunya studi terpublikasikan yang
mengklaim adanya hasil positif hanyalah bersifat sementara dan tidak memiliki
hasil statistik yang signifikan.
Bahkan lebih mengkhawatirkan lagi, terdapat cukup banyak bukti
bahwa obat-obatan ini telah diketemukan dapat menyebabkan gejala-gejala yang
sebenarnya ingin disembuhkan. Lebih dari 500 Medical Doctor dan atau Ph.D.
telah menandatangani suatu pernyataan yang mengajak untuk diadakannya penilaian
kembali bagi penyebab AIDS dan mempertanyakan apakah gejala-gejala yang ada
benar-benar disebabkan oleh HIV.
Walaupun “antiretroviral” lebih baru seperti ddC, ddI, dan d4T
memiliki mekanisme analisator aksi dan toksisitas yang sama dengan AZT, mereka
belum pernah diteliti secara ekstensif dan dengan demikian tidak didiskusikan
secara detail seperti halnya penelitian-penelitian yang ditekankan di bawah
ini.
1) Tulisan Pembukaan Glaxo mencantumkan peringatan berikut dengan
huruf kapital besar dan tebal di awal bagian Physician’s Desk Reference edisi
tahun 1998 yang mendeskripsikan AZT (merek Retrovir atau Zidovudine).
“RETROVIR (ZIDOVUDINE) BISA MENGAKIBATKAN TOKSISITAS HEMATOLOGI
BERAT TERMASUK GRANULOCYTOPENIA DAN ANEMIA BERAT YANG TERUTAMA SEKALI ADA PADA
PASIEN DENGAN HIV TINGKAT LANJUT (LIHAT PERINGATAN). PENGGUNAAN RETROVIR SECARA
TERUS MENERUS JUGA BISA MENGAKIBATKAN SYMPTOMATIC MYOPATHY SERUPA DENGAN YANG
DIHASILKAN OLEH HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS.”
Ijinkan saya untuk menerjemahkannya ke bahasa yang lebih mudah
dimengerti. “Granulocytopenia”, yang juga disebut “neutropenia” artinya sel
penting dari sistem imun, yaitu neutrophil, telah berkurang, bersamaan dengan
sel-sel lainnya, eosinophil dan basophil, yang jumlahnya lebih sedikit tapi
masih penting.
Kondisi ini bisa ringan, sedang, atau bahkan berat. Catatan klinis
atas neutropenia berat dalam Pathologic Basis of Disease karangan Robbins (5th
Ed.), dimana dipakai oleh kebanyakan sekolah kedokteran yang mempelajari
patologi, memberikan penjelasan tentang apa yang terjadi pada pasien penderita
neutropenia berat.
CATATAN KLINIS : Gejala dan tanda-tanda dari neutropenias adalah
adanya infeksi bakteri Dalam kasus agranulocytosis berat dengan kondisi tidak
adanya neutrophil, infeksi-infeksi ini bisa sangat beraneka macam sampai
menyebabkan kematian dalam hitungan hari. “ (Robbins, p.631)
Hal ini terdengar sangat mengganggu sama dengan deskripsi AIDS.
Robbins juga menyatakan, dalam huruf bercetak miring, bahwa “bentuk umum dari
neutropenia berat adalah dikarenakan obat-obatan.” Apa yang tidak disebutkan di
buku teks manapun adalah bahwa AZT telah didapati dalam lima penelitian
(sesudah adanya ketergesa-gesaan FDA dalam memberikan perizinan atasnya)
ternyata beracun bagi sel T, sel yang ketidakhadiranya dianggap disebabkan oleh
karena HIV.
Hal ini tidaklah mengejutkan sejak sel T dan semua sel lainnya
diproduksi di dalam sumsum tulang telah berkurang karena AZT. AZT pada awalnya
meningkatkan produksi sel T sebagai respon sistem kekebalan tubuh terhadap
racun yang ada dari AZT, tapi dalam waktu yang cukup singkat, sel T,
neutrophil, dan sel sistem kekebalan lainnya mulai berkurang.
2) Satu contoh dari penelitian yang mendokumentasikan pengaruh AZT
atas sistem imun manusia telah dipublikasikan di the Annals of Hematology. AZT
telah diberikan ke 14 pekerja kesehatan yang secara tidak sengaja
terkontaminasi darah HIV dari jarum suntik. Penelitian seperti ini sangatlah
penting karena toksisitas yang terjadi tidak bisa dipersalahkan ke HIV sebagai
penyebabnya, seperti yang terjadi pada orang yang positif HIV. Setengah dari 14
orang tersebut akhirnya harus berhenti mengkonsumsi AZT karena efek samping
toksisitasnya yang berat, dan penelitianpun dihentikan lebih awal supaya tidak
terjadi kerusakan lebih fatal lagi. Neutropenia (seperti telah dijelaskan di
atas) berkembang pada 36% (4 dari 11) orang yang memakai perawatan dengan AZT
selama 4 minggu. 3 dari 14 orang bahkan tidak bisa mencapai 4 minggu oleh
karena “gejala subyektif yang berat”. Satu pekerja harus segera dihentikan
memakai AZT karena neutropenia dia terlihat begitu berat sehingga dia mengalami
infeksi saluran pernapasan bagian atas.
Apa yang menarik dari penelitian ini adalah efek samping dari AZT
muncul hanya dalam waktu 4 minggu, sementara pasien dengan status “positif HIV”
seringkali menggunakan AZT dan obat-obatan serupa lainnya selama
bertahun-tahun. Dosis pemakaian AZT dalam gabungan dengan ARV lainnya
seringkali lebih kecil, yang menyebabkan gejala yang nampak jadi terlihat lebih
kecil jika dibandingkan memakai AZT saja.
3) Sebuah artikel di the New England Journal of Medicine
memperhatikan pengurangan otot (muscle wasting) sebagai akibat dari pemakaian
AZT dan membandingkannya dengan pengurangan otot yang biasa disebut sebagai
“myopathy”, diduga diakibatkan oleh HIV. Komentar mereka terhadap perbandingan
tersebut adalah: “Kami menyimpulkan bahwa terapi jangka panjang dengan Zidovudine
dapat mengakibatkan keracunan mitochondrial myopathy, dimana… gejalanya tidak
bisa dibedakan dengan myopathy yang berhubungan dengan infeksi HIV. Tulisan
Robbin mengenai patologi juga berisi bagian yang menjelaskan tentang
mitochondrial myopathy, menyatakan bahwa pengurangan otot jenis ini meyebabkan
kelemahan fisik yang berat. Dalam tulisannya juga menyebutkan bahwa “kelompok
ini bisa juga diklasifikasikan sebagai mitochondrial encephalomyopathy.”
Encephalomyopathy, dalam bahasa gampangnya berarti kerusakan yang menyebar pada
otak dan sumsum.
4) “HIV Dementia”: Walaupun kebanyakan penelitian restrospektif
belum menemukan hubungan AZT dengan “HIV dementia”, penelitian-penelitian ini
tidaklah terkontrol dan dengan demikian membuka terhadap berbagai kemungkinan
dan penyimpangan. Satu penelitian yang terkontrol lebih baik berhasil menemukan
bahwa “HIV dementia” terjadi 2 kali lebih besar pada orang yang memakai AZT.
Dalam penelitian ini, seperti yang terpubliksikan journal Neurology , si
pengarang menyatakan: “diantara para subyek dengan sel CD4+ berjumlah <
200/mm3, resiko untuk berkembangnya HIV dementia di antara mereka yang
dilaporkan memakai antiretroviral (AZT, ddI, ddC, or d4T) ternyata 97% lebih
tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak memakai terapi antiretroviral”
Penelitian-penelitian tersebut juga membahas mengenai sensory neuropathy, atau
kemerosotan syaraf rasa: “Sebagai tambahan, hasil temuan dari analisa kami
sepertinya mengkonfirmasi pengamatan sebelumnya mengenai pengaruh beracun antiretroviral
terhadap syaraf. Banyak penelitian telah menghubungkan pemakaian ddI, ddC, dan
d4T dengan perkembangan racun atas sensory neuropathy, biasanya dalam dosis
tertentu.
Penelitian-penelitian ini merupakan contoh dari bukti yang
menunjukkan bahwa AZT dan antiretroviral lainnya yang dipakai sebagai terapi
tunggal atau sebagai bagian dari gabungan terapi ARV dapat menyebabkan
gejala-gejala yang serupa dengan AIDS yang kemudian mengkambinghitamkan HIV
sebagai penyebabnya. Sialnya, keyakinan mengenai HIV begitu kuatnya sehingga
banyak dari peneliti kemudian akhirnya mensuport penggunaan obat-obatan.
Perkecualian yang perlu diperhatikan adalah penelitian dari
Pharmacology and Therapeutics, dimana memberikan kritik yang tegas dan seksama.
Fakta lain yang menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai
kemungkinan HIV yang menyebabkan infeksi adalah fakta bahwa walaupun USD 45
juta telah dikeluarkan sebagai dana penelitian, para ilmuwan tetap tidak bisa
mengetahui bagaimana HIV menghancurkan sel T. Tentu saja demikian, ini
dikarenakan HIV tidak menghancurkan sel T di tabung lab dan juga tidak pernah
terbukti menghancurkan sel T di dalam tubuh manusia.
Dalam sebuah konferensi di tahun 1997, seperti yang dilaporkan
pada jurnal Science, fakta ini telah diperjelas sebagaimana teori yang
dikemukakan oleh David Ho memiliki kekurangan yang cukup serius. Seperti yang
dinyatakan dalam artikel Science “Sampai sekarang misteri utama AIDS tetap tak
terungkap, yaitu: Bagaimana HIV menyebabkan hilangnya sel T secara besar-besaran…
yang merupakan tanda utama dari AIDS ?
Seorang immunologist dari Harvard Medical School, seperti tertulis
dalam artikel tadi, meringkas permasalahan tersebut sebagai berikut: “Kami
masih bingung mengenai mekanisme yang membuat berkurangnya sel T, tapi
setidaknya sekarang kami bingung pada tingkat yang lebih tinggi lagi terhadap
pemahaman kami sendiri.” . Sebenarnya, penjelasan sederhana dari permasalahan
ini adalah (terutama sesudah dihabiskannya dana USD 45 juta) bahwa HIV tidak
berefek pada sel T sama sekali.
PENJELASAN SEBENARNYA DARI PENYEBAB AIDS
Didasarkan pada bukti-bukti di atas, bisa dibuat suatu argumen
bahwa apa yang kita sebut AIDS sebenarnya adalah penggenapan ramalan oleh diri
sendiri (self-fulfilling prophecy) yang bisa saja terjadi sebagai berikut:
a) Tekanan psikologis akut yang berat karena didiagnosa “positif
HIV”, telah bertransformasi dengan cepat menjadi tekanan psikologis kronis
mengenai prediksi masa depan hidup dengan kesehatan yang makin menurun dan
adanya penyakit infeksi yang bisa terjadi kapan saja. Stres seperti ini akan
mengakibatkan bahaya menurunnya sistem imun. Menurunnya sistem imun oleh karena
tekanan psikologis telah didokumentasikan dengan baik oleh beberapa penelitian
ilmiah dan juga merupakan hal yang pasti terjadi pada kebanyakan orang.
Disamping itu, orang-orang biasanya ditest untuk HIV pada saat masalah
kesehatan mulai muncul, sehingga tekanan psikologis karena terdiagnosa “positif
HIV” pun makin menambah parah penyakit yang telah ada sebelumnya. Secara alami,
penyakit-penyakit karena pikiran ini bisa kronis dan berat. Tidak mesti harus
ada penyakit parah sebelumnya baru muncul penyakit pikiran ini. Penyebab
penyakit seperti ini (karena tekanan pikiran) telah diteliti pada orang-orang
sehat dimana mereka juga bisa menciptakan suatu kondisi turun dan rusaknya
sistem imun yang akhirnya disebut “AIDS”.
b) Sekali ditest positif, orang tersebut seringkali diberi
antibiotik dengan dosis tinggi dan untuk jangka panjang, dan bisa juga ditambah
dengan antiretroviral, sebagai standar pencegahan atau perawatan terhadap HIV.
Antibiotik yang diberi seringkali memiliki efek samping melemahkan yang
akhirnya dipersalahkan sebagai akibat dari HIV, termasuk menurunnya sistem
imun. Dan lebih lagi, antibiotik mengakibatkan matinya bakteri menguntungkan
yang melindungi kita. Tingkat keseimbangan yang normal antara bakteri
menguntungkan dan merugikan dalam perut kita dan daerah lainnya adalah salah
satu faktor terpenting dalam melindungi tubuh dari infeksi. Puncak dari ini semua,
antibiotik seringkali juga menyebabkan kebalnya bakteri, jamur dan virus
terhadap berbagai macam obat
c) Sekali sistem imun telah turun oleh karena tekanan emosional
(atau kekhawatiran pikiran) yang terus menerus terjadi, penyakit yang pernah
diderita sebelumnya (jika pernah ada) dan melemahnya tubuh membuat diagnosa
AIDS menjadi positif. Setelah itu, orang tersebut akan mulai diberi resep
“antiretrovirals (ARV)” yang pasti dan permanen, dimana efek sampingnya telah
saya jelaskan di atas. Makin banyak jumlah orang yang diberi resep ARV padahal
mereka masih sehat dan tidak terdiagnosa AIDS.
d) ARV dianjurkan kepada pasien sampai dia meninggal. Ini karena
adanya teori bahwa HIV bisa kebal dan berkembang jika mereka lalai mengkonsumsi
ARV. Pasien yang meninggalkan prawatan ARV secara teori akan menjadi ancaman
publik karena mereka bisa menginfeksi orang lain dengan “HIV yang bermutasi”.
Demikianlah, disamping mempertimbangkan kesehatannya sendiri, pasien memiliki
tanggung jawab sosial yang besar sehingga mengakibatkan dia untuk tetap
mengkonsumsi ARV. Tidak peduli akan betapa berbahayanya efek samping dari ARV,
pasien dengan keras dianjurkan untuk tidak pernah luput mengkonsumsi 1 pil pun.
Namun ketika kesehatan pasien makin memburuk, keadaan tersebut dipersalahkan
pada mutasi HIV sebagai penyebabnya dan juga karena “kelalaian” pasien. Sangat
jarang infeksi atau permasalahan kesehatan yang ada dikatakan oleh karena efek
samping dari ARV.
Beberapa orang tampaknya memiliki respon yang baik (tapi
sementara) terhadap ARV. Apa sebabnya masih belum jelas, tapi bisa saja
berhubungan dengan:
1) ARV langsung bereaksi pada pathogen yang ada termasuk HIV.
2) Zat beracun dari ARV telah menstimulasi keluarnya sel T dari
sumsum tulang, sebelum akhirnya malah menghabiskan sel T dan menyebabkan
turunnya sel imun dan anemia. Awal naiknya jumlah CD4 pada kasus ini diartikan
oleh dokter sebagai membaiknya fungsi imun/kekebalan tubuh.
3) Berkurangnya tekanan psikologis sehingga pasien bisa tenang
adalah karena keyakinan yang kuat bahwa ARV yang telah dikonsumsi adalah
“penyelamat”. Dan ini seringkali diperkuat dengan hasil lab yang menunjukkan
meningkatnya jumlah CD4 dan menurunnya “viral load”, dimana ini bukanlah tanda
yang pasti akan membaiknya kesehatan.
Beberapa penelitian ilmiah yang berusaha untuk mendokumentasikan
efek positif dari protease inhibitor (PI) gabungan, selalu berakibat tidak
baik. Tiap sukarelawan selalu harus stop lebih dini ditengah-tengah penelitian.
Ini membuat penelitian-penelitian yang ada tidak bisa menemukan manfaat yang
sesungguhnya dari terapi PI gabungan dan penelitian pun tidak pernah selesai.
Sebagai tambahan, group placebo terkontrol diberikan 2 ARV tanpa
protease inhibitor. Jika ARV merupakan bagian dari permasalahan yang ada, maka
group placebo terkontrol ini tidak akan memperlihatkannya. Menghentikan
percobaan terlalu dini terjadi pada kasus monoterapi AZT, sampai akhirnya uji
coba Concorde berhasil menyelesaikannya tapi dengan angka kematian dan efek
samping berat yang makin banyak di group yang mendapatkan AZT.
Group lainnya, dimana sukarelawan hanya diberikan AZT sesudah
didiagnosa positif AIDS, memiliki angka kematian 25% lebih sedikit. Semua 172
sukarelawan uji coba Concorde yang meninggal telah diberikan AZT kecuali 3
sukarelawan. Untuk detail diskusi dari uji coba Concorde, silahkan melihat
referensi.
Pemikiran bahwa HIV yang bermutasi bisa menyebabkan berbagai
masalah kesehatan telah disangkal total oleh penelitian David Rasnick, yang
mempublikasikan hasil penelitiannya di the Journal of Biological Chemistry.
Dengan demikian, penurunan kesehatan pada kebanyakan pasien BUKAN disebabkan
oleh HIV yang bermutasi. Jawaban yang lebih sederhana dan tepat adalah efek
samping obat-obatan yang menyebabkannya, seperti yang telah dibeberkan dengan
jelas di atas.